Sehari
terasa satu jam, seminggu terasa sehari, sebulan terasa seminggu, dan setahun
serasa sebulan. Tak terasa, umur saya sudah memasuki tahun ke dua puluh. Dan
selama waktu itu, apa yang telah saya lakukan untuk dunia? Atau bahkan untuk
diri saya sendiri?
Setelah
masuk kuliah, banyak hal yang mata saya lihat.
Tentang
betapa kerasnya hidup, dan betapa besarnya ketidakpastian kalkulasi manusia.
Saya menyaksikan orang-orang berubah, some
are good changes, some are not. Saya menyaksikan bagaimana teman-teman yang
dulunya tertawa bersama, sekarang sendiri-sendiri berjuang menyelamatkan
hidupnya.
Memasuki
tahun ke duapuluh dalam hidup saya, banyak yang saya syukuri, banyak yang saya
sesali. Semua hal tersebut membuat saya mencapai state of mind dimana saya sekarang. Ini adalah hal-hal yang saya
sadari dan saya coba untuk ubah dalam hidup saya.
Nobody’s
Gonna Help Me Anymore.
Tiada
lagi orang yang akan membantu saya.
Selama
ini saya hidup dalam zona nyaman, saya kira dunia dapat berputar semau yang
saya inginkan. Ada orang tua yang akan selalu menopang saya dari belakang. Ada
adik-adik saya yang akan membantu saya. Apapun masalahnya, akan ada backingan dari segala arah.
Sekarang
saya sadar, saya akan terjun ke masyarakat yang sebenarnya, sendirian. Bunda
dan ayah yang saya sangat cintai tidak akan selalu ada bersama saya nantinya,
mereka pantas mendapatkan hari tua yang tenang dan membahagiakan. Adik-adik
saya akan tumbuh dewasa, mereka pantas mengejar mimpi dan cita-citanya
masing-masing. Saya akhirnya akan sendirian. Saya sadari itu.
Mulai
dari sekarang, saya harus berfikir dua, tiga, empat, lima langkah kedepan
bagaimana cara menghadapi suatu masalah sendiri. Saya kondisikan seakan-akan
tak ada yang dapat membantu saya.
Sebagai
contoh,
Dulu
saya selalu hidup berfoya-foya. Menghabiskan uang jajan sebanyak-banyaknya,
karena saya tau saya bisa memintanya lagi pada orang tua saya.
Saya
dulu juga selalu malas dan mengeluh membersihkan rumah. Saya bisa alihkan
pekerjaan tersebut kepada pembantu saya.
Tapi
syukurnya, pikiran saya sekarang tidaklah sependek itu.
Saya
sekarang selaly membayangkan diri saya sedang mengambil gelar master jauh di
negeri Eropa, karena itulah mimpi saya.
Saya
sendirian di sana.
Hidup
saya setiap bulannya bergantung pada uang beasiswa tersebut.
Pertanyaannya,
Jika
uang hidup dari beasiswa habis di bulan itu, kepada siapa saya memintanya lagi?
Jika
apartemen saya di sana nantinya kotor, siapa yang akan membersihkannya untuk
saya?
Jawabannya
tidak ada.
Tidak
ada lagi yang dapat mengurusi saya di sana.
Saya
menyesal dulu memperlakukan diri saya seperti seorang putri disaat kenyataannya
hidup itu susah. Hidup enak tidak butuh belajar, tapi hidup susah belum tentu
semua bisa.
Saya
menyesal kenapa dulu saya hidup berfoya-foya.
Saya
menyesal kenapa dulu saya malas membersihkan rumah.
Mentalitas
itulah yang harus saya buang jauh-jauh jika ingin sukses.
Belajar
susah.
Belajar
susah.
Belajar
susah.
Jika
saya sudah dewasa, saya harus belajar susah.
Dan
saya menyesal mengapa tidak dari dulu saya belajar susah.
Saya
menyesal mengapa saya tidak mau mengerjakan pekerjaan yang nantinya akan
membuat saya kuat.
Pelajaran
pertama untuk menjadi dewasa.
Penyesalan
bagi dia yang selalu mendapatkan kemudahan.
Adulting
#1
Komentar
Posting Komentar